Sisi Lain Si Muka Dua

Sisi Lain Si Muka Dua
Picture by : WikiHow.com
Dalam hidup, memang tak semua selalu menyenangkan, begitu pula sesama manusia. Menyebalkan memang saat Kamu terpaksa harus menerima kenyataan pahit itu. Akan selalu ada orang yang selalu merasa paling benar sendiri dan menganggap Kamu sama dengan anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Siapa yang tidak kesal dengan orang yang bermuka dua ? Di depan kita mereka diam saja atau tersenyum manis, bahkan kadang mengiyakan semua ucapan kita. Giliran di belakang, mereka "menikam" kita dengan menyebar kabar keburukan kita pada orang lain. Mengerikan sekali, bukan? Apalagi bila kita sudah sangat percaya sama mereka

Tapi, bagaimana dari sisi "si muka dua" itu sendiri ? Benarkah mereka selalu sejahat itu ?

Saya tidak sedang membela atau memaklumi orang yang hobi bermuka dua. Saya hanya sedang berusaha melihat sisi lain dalam sebuah situasi dan atau kondisi. Dengan kata lain, ini hanyalah fakta yang jarang atau mungkin nyaris tidak pernah dibahas atau dianggap ada.

Oke, memang ada orang yang bermuka dua gara-gara niat mereka yang kurang baik. Entah oportunis atau sengaja ingin menjebak atau menjatuhkan seseorang yang mereka anggap saingan atau benci. Namun, tak perlulah lagi kita bertanya-tanya siapa saja yang berpotensi menjadi manusia bermuka dua. Suka tidak suka, Kamu pun bisa. Seperti biasa, namanya juga manusia. Never say never. Jangan sok yakin bahwa Kamu tidak akan pernah begitu. Semoga Kamu juga tidak akan pernah kepikiran untuk berbuat demikian. Manusia tidak pernah ada yang sempurna. Kita takkan pernah tahu kapan kita tiba-tiba "khilaf".

Pernahkah Kamu meragukan senyum tulus teman yang berada di depanmu ? Mungkin Kamu hanya berprasangka dan diam-diam biasanya itu membuat Kamu merasa bersalah. Mungkin juga insting Kamu tengah berbicara, meski belum ada bukti nyata. Atau, pernahkah Kamu tersenyum setengah hati pada seseorang di depan Kamu ? Mungkin Kamu tidak sepakat dengan mereka, namun malas berdebat. Mungkin sebenarnya mereka begitu menjengkelkan bagimu, namun sayangnya Kamu merasa tetap harus berbaik-baik dengan mereka. Alasannya bisa macam-macam, mulai dari atas nama sopan-santun, takut, hingga malas ribut, terutama bila mereka tipe yang sulit atau enggan didebat alias selalu merasa paling benar sendiri (baca : egois!). Sayangnya, tipe macam ini di Indonesia sangat lazim pada mereka yang lebih tua, berjabatan lebih tinggi, hingga punya uang banyak. Tidak usah heran! Biasanya mereka hanya akan menganggap kamu tidak selevel dengannya.

Kalau sudah begitu, wajar saja bila Kamu kesal. Namun, berhubung malas buang-buang waktu dan tenaga Kamu yang sangat berharga hanya untuk berdebat dengan mereka, Kamu memilih diam saja dengan memendam dongkol dalam hati. Kalau sudah tidak tahan lagi, biasanya yang Kamu lakukan adalah membicarakan orang itu dengan orang lain. Yang lebih taktis mungkin yang memilih teman bicara yang tidak kenal dengan si objek gosip, dengan harapan bahwa mereka berdua takkan pernah bertemu apalagi sampai berteman.

Kalau enggan terlibat dalam drama yang tidak perlu, diam itu selalu emas. Lain cerita kalau orang itu sudah mengancam posisi, kredibilitas, dan keselamatan nyawa Kamu secara serius ! Tak ada gunanya juga Kamu cerita-cerita ke semua orang, kecuali bila Kamu punya bukti cukup sebagai peringatan agar mereka lebih waspada. Kalau sudah begitu, Kamu justru akan makin tersiksa lahir-batin dan sulit sekali untuk benar-benar berbahagia dengan hidup Kamu, apalagi bila masih perlu berpura-pura baik pada sosok yang bersangkutan. Meski Kamu korban dan juga tak bersalah, tetap saja "jatuh"-nya sama Kamu juga yang bermuka dua.

Mereka adalah contoh yang tidak perlu Kamu ikuti bila tidak ingin. Gampang kan ? Lalu, bagaimana bila situasinya dibalik ? Kamu sedih dan sakit hati saat tahu banyak yang diam-diam membicarakan keburukanmu di belakang. Benarkah niat mereka selalu hanya ingin "menjatuhkan" mu, entah karena iri atau benci ? Bagaimana bila ternyata selama ini mereka telah berusaha jujur dan terbuka denganmu, namun Kamu yang tidak mau mendengar, bersikap defensif, atau marah-marah ? Lantas Kamu menuduh mereka lancang, ikut campur urusan Kamu, menghakimimu, atau enggan menerima Kamu apa adanya. Benarkah selalu demikian ?

Bisa jadi, selama ini Kamu yang tidak sadar dan tidak peka bahwa Kamu sendiri penyebab ketimpangan relasi antara Kamu dengan mereka. Kamu mungkin terbiasa ceplas-ceplos, bermulut tajam atas nama "kejujuran" dan selalu meminta mereka agar "harap maklum". Bahkan, bisa jadi Kamu malah tengah berbangga hati harena bisa berlaku demikian dan merasa Kamu adalah jagoan yang berani. Bolehlah bahwa Kamu menganggap tata-krama dan sopan-santun hanyalah untuk mereka yang munafik, alias baik kalau lagi ada maunya saja. Harus ya, selalu seekstrim itu ?

Kamu mungkin tidak peduli orang lain akan sakit hati dengan ucapan kasar Kamu yang "asalkan jujur" itu. Tidak masalah, selama Kamu siap bila suatu saat orang akan berbuat sama terhadap Kamu. Ingat, karma itu ada dan selalu berbicara.

Kalau tidak ? Ya, Kamu memang berhak suka-suka, seperti mereka pun berhak suka-suka. Jangan salahkan mereka yang pada akhirnya memilih diam, pura-pura setuju dengan Kamu, atau malah menjauhimu. Habis bagaimana ? Tidak ada dialog seimbang sih, antara Kamu dengan mereka, apalagi bila yang Kamu butuhkan hanyalah pendengar pasif dan pengikut buta, bukan mereka yang berpotensi membantu Kamu berkembang menjadi manusia yang lebih baik.

Kita memang tidak selalu harus dan bisa sepaham, tapi setidaknya  kita harus bisa sama-sama berusaha menjaga perdamaian. Sekali lagi, hidup ini bukan melulu soal Kamu atau mereka. Tak ada yang bisa menjadi pusat semesta. Saatnya kita semua bersikap lebih dewasa.

Jadi, benarkah si "muka dua" selalu salah, licik, dan jahat? Selamat mencari tahu bila ingin. Selamat berusaha berdamai dengan kenyataan. Semoga setelahnya, kita semua dapat bertambah dewasa dan lebih bijak dalam menyikapi setiap persoalan. Selamat meraih hidup yang lebih damai dan bebas drama !

KKN dan Analisa Singkat


Persahabatan, persaudaraan, bahkan mungkin cinta yang timbul antar teman-teman KKN menjadi bukti sahih bahwa KKN membawa dampak positif kepada kita para mahasiswa, kepada INTERN kita.

Namun, benarkah demikian yang diharapkan perguruan tinggi terhadap pelaksanaan KKN ini? Sedikit hal yang bisa saya ambil dari buku pedoman kita yang mengatakan bahwa sasaran diadakannya KKN ini untuk mahasiswa adalah :
  1. Membentuk sikap dan rasa cinta, kepedulian sosial, serta tanggung jawab mahasiswa terhadap kemajuan masyarakat.
  2. Membina mahasiswa agar menjadi seorang inovator, motivator, dan problem solver.
  3. Memberikan pengalaman dan keterampilan kepada mahasiswa sebagai kader pembangunan.
Masih banyak yang menjadi sasaran yag tidak saya cantumkan disini, namun yang jelas semuanya memiliki tujuan yang sama : perkembangan individu kita sebagai mahasiswa di wilayah KKN.

Nah, ada pertanyaan yang sederhana namun menggelitik, sudahkah sasarannya tercapai ? Adakah perkembangan yang kita rasakan sebagai mahasiswa, sebagai kalangan ilmiah, dalam KKN ? Apakah kita bisa membuat perubahan di daerah KKN? Sebelum anda menjawabnya, mari kita analisa lagi lebih dalam tentang kegiatan KKN kita.

Peranan Mahasiswa saat KKN ?
Selama KKN, kita dibebankan dengan program-program yang sesuai dengan bidang keilmuan kita masing-masing. Program ini ada yang bersifat pribadi, kelompok, ataupun antara kelompok lainnya. Bahkan, saya mendengar kabar ada teman-teman yang tidak memiliki program pribadi. Tentu semuanya dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan survey yang telah dilakukan sebelumnya.

Tidak semua jurusan bisa memiliki program yang sesuai, semuanya disesuaikan dengan keadaan tempat KKN. (Nah, lo ??) Padahal kita sudah diberikan beban harus sesuai dengan ilmu yang ditekuni. Teman-teman jurusan Hukum di tempat KKN saya bingung memilih program yang sesuai, karena hampir tidak ada permasalahan hukum yang ditemukan. Mahasiswa Ilmu Teknik Informatika yang ditempatkan di Fakultas Pertanian juga tidak bisa menerapkan ilmunya, karena memang tidak atau mungkin belum ada software apapun yang bisa dibuat disana. Pada akhirnya, program dibuat menjadi asal-asalan, yang penting jalan, ada fotonya, dan dibuat dalam laporan pelaksanaan kegiatan.

Saya tidak munafik, karena saya juga demikian. Pertanyaan lagi, perkembangan yang seperti apa yang kita dapatkan dari hal-hal seperti itu ? Apakah dengan cara demikian kita menjadi problem solver, menjadi motivator, menjadi inovator ? Jawabannya tidak. Mahasiswa hanya menjadi event organizer (EO). Mengadakan acara, selesai, kembali ke posko. Dampaknya ke wilayah sekitar, hampir tidak ada. Mahasiswa KKN bergerak dan bertindak nyaris tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Akibatnya, KKN malah seperti liburan, santai. Bahkan ada yang menjadikan KKN sebagai program penggemukan badan, ironis. Hal-hal seperti ini diperparah oleh keadaan dimana tidak adanya kontrol yang jelas dari supervisor maupun panitia pelaksana yang mengatasnamakan pengabdian kepada universitas. Mereka yang dalam teorinya juga harus turun ke lapangan untuk mengontrol keadaan "anak-anak" mereka, malah hampir tidak pernah "nongol", entah kemana. Semuanya berkutat pada kepentingan dan alasan masing-masing.

Intinya adalah KKN sama sekali tidak berdampak pada peningkatan kualitas kita sebagai mahasiswa, bahkan mungkin juga untuk kemanusiaan kita masing-masing. Kita dikendalikan sebagai makhluk "pengejar target". Semuanya bergerak seperti robot, karena jika tidak demikian, maka kita akan mendapatkan sanksi berupa pengurangan nilai. Ini semua akan berpengaruh ke dalam pemikiran, dimana pemikiran tidak bisa dibiarkan "liar". Pemikiran kita "ditenggelamkan’ dengan sukses. Untung saja KKN cuma sebulan lebih sedikit, karena saya tidak bisa membayangkan betapa "mandeknya" pemikiran-pemikiran kita jika KKN dengan sistem seperti ini dibiarkan sampai berlarut-larut. Namun setidaknya, ditengah kebobrokan ini, kita mendapatkan pengalaman. Dan hanya itulah yang mungkin bisa kita banggakan, disamping pertemanan itu tentunya.

KKN hanya bisa, sekali lagi, hanya bisa memberikan pengalaman, memberikan persaudaraan, pertemanan, namun tanpa pemecahan masalah masyarakat. Mahasiswa KKN hanya bertindak selayaknya Sinterklas, memberikan hadiah, namun setelah dia pergi, masyarakat akan tetap saja seperti semula: miskin dan tanpa solusi.

Oleh sebab itulah saya meminta kepada teman-teman menyisakan sedikit waktu untuk berpikir : apa yang dapat saya berikan untuk lingkungan KKN ? Sebab ilmu yang kita dapat sekarang tidak akan ada gunanya jika kita hanya memanfaatkan untuk diri sendiri. Kemanusiaan kita tidak akan mengalami perkembangan sama sekali. Tidak harus melakukan sesuatu awal yang sulit untuk mendapatkan hasil yang gilang gemilang. Sederhana, namun dengan hasil yang luar biasa…..

MERDEKA!

Let's Move On

Let's Move On
Picture by : WikiHow.com

Ajakan itu selalu terdengar manis dan positif. Memang lebih baik bila kita tidak melulu berkutat pada masalah yang sama, dengan urusan yang itu-itu saja. Manusia yang mau berkembang harus berani maju. Jangan stuck di tempat yang sama terus.

Maunya sih, semua juga gitu.

Memang ngomong selalu lebih gampang, apalagi bagi mereka yang (setidaknya merasa) sudah melalui ujian "maha berat" dan berniat "mulia" untuk menyemangati orang lain yang tengah berkubang masalah. Ada juga yang (masih ?) mengira kalo yang butuh "move on" hanya mereka yang lagi patah hati.

Kadang "moving on" baru benar-benar lancar jaya bila lingkungan sekitar juga mendukung. (Baca : tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu, apalagi sampai membahasnya panjang-lebar yang bisa berbuntut saling menuduh dan menyalahkan. Kalo masalah sudah selesai, sebaiknya tidak dibahas lagi apalagi sampai berlarut-larut yang kemudian berujung pada perkara baru !)

Bagaimana kalo kita sebenarnya sudah siap untuk "move on", tapi lingkungan sekitar masih juga tidak mendukung ? Contoh, saat kita baru saja mencoba membangun (kembali) kepercayaan diri kita yang sempat hancur akibat kegagalan di masa lalu atau peristiwa yang menyakitkan dan traumatis (semoga tak sampai segitunya, ya), masih saja ada orang-orang yang masih saja menyinggung ketidaksempurnaan kita.

Yang sudah cukup percaya diri dan kuat iman mungkin memilih cuek dan menganggap suara-suara sumbang sebagai angin lalu. Ada juga yang berusaha keras membuktikan bahwa pendapat orang lain yang (maaf) "hobi nyinyir" dan mencampuri urusan pribadi mereka, salah besar. Misalnya, kamu baru saja putus dari kekasih dan buru-buru mencari yang baru agar tidak dicap "tak laku".(Entah kenapa masih aja ada yang menyamakan manusia dengan barang dagangan, arrggh.)

Ada yang memilih untuk menyendiri untuk sementara waktu. Entah menjauh dari semua tempat yang mengingatkan mereka akan peristiwa tak enak tersebut, menjaga jarak dengan orang-orang usil yang selalu ingin tahu masalah mereka dan hobi mencari-cari kesalahan mereka, dan menyibukkan diri. (Bahkan, kadang mereka yang mengaku sayang dan mengerti kita sebenarnya tidak selalu paham saat kita tengah mencoba untuk "move on".)

Salahkah ? Apakah berarti mereka lelah dan hanya pengecut yang hobi melarikan diri, mencari perlindungan, dan enggan menghadapi tantangan ? Mungkin tidak juga. Lagipula, siapa kita yang bisa menilai terutama bila belum tentu mengalami hal serupa ? Bukankah setiap orang punya kapasitas masing-masing dalam menangani masalah ?

Banyak orang yang bisa memberi kita jutaan nasihat (yang semoga bermanfaat). Pada akhirnya, keputusan selalu ada di tangan kita. Mau segera "move on" atau stuck di tempat yang sama.




Seharusnya Kau Masih Disini

Seharusnya Kau Masih Disini
Picture by : WikiHow.com

Seingatku, baru kemarin kamu berada di sini. Di sampingku. Kita tertawa dengan guyonan kecil sepanjang malam. Kadang-kadang kita berdiskusi, bahkan seringkali berbeda pendapat dalam menganalisa masalah. Lucunya, kita selalu mencoba berdamai. Kau dan aku memaklumi perbedaan pendapat itu. Kau dan aku seakan dua bocah kecil yang suka adu mulut lalu kemudian baikan lagi.
Dengan polosnya aku bilang, "Maafin aku ya. Kita tetap bersahabat ya ?"

Entah kenapa, hari ini aku kembali merindukanmu. Rindu dengan sosok yang tidak pernah gagal membuatku tersenyum. Rindu dengan sosok yang selalu memberi ucapan manis sebelum kau ingin tidur. Dengan polosnya kau bilang, "Aku tidur duluan ya ? Kalau keluar malam-malam jangan tidur larut malam, okey ?". Rindu ketika kau menggenggam tangan ku kemudian berkata " I Love You".

Huhh ! Seingatku baru kemarin ya, kita bercanda. Tetapi sekarang keberadaanmu entah di mana. Aku tak tahu kabarmu. Kabar tentang pilek dan pusingmu yang sering kambuh. Tentang gangguanmu terhadap keponakan kecilmu. Tentang jerawat kecil di wajahmu, yang selama ini kamu coba membasminya pelan pelan. Tentang keluhanmu karena capeknya mengerjakan pekerjaan rumah "Ayank, capek. 

Aku jadi kangen semuanya.

Dan yang terakhir adalah tentang hatimu. Aku ingin tahu. Aku ingin tahu apakah kamu diam diam menangis karenaku. Apakah di sana kamu diam diam merindukanku. Aku ingin mengerti isinya.






Selangkah Melepasmu

Selangkah Melepasmu
Picture by : WikiHow.com

Mengenalmu begitu memberi kesan berharga seolah inilah momen hidup yang takkan pernah dimusnahkan. Sepanjang hari selalu diselingi senyuman. Aku tersenyum dengan kata-kata lembutmu, Ukhti. Aku menyukai perhatian dan guyonan kecilmu yang lucu. Setiap sabtu malam minggu kamu menunggu sms dariku, menanti penyemangat hidupmu, seorang wanita yang perlahan-lahan menanamkan benih cinta.

Kamu tidak datang dengan kereta kencana seperti dalam dongeng, melainkan datang dengan apa adanya dirimu. Berbekal iman, akhlak, dan tutur bahasmu. Kamu memberikan kebahagiaan seolah tak pernah berakhir. Kita sama-sama dimabuk cinta, bermanja-manja melewati batas, melupakan waktu yang berharga. Semakin hari, kau dan aku menginginkan hubungan ini berlanjut lebih serius lagi. Namun ternyata keinginan mulia ini disusul dengan pertengkaran kecil sepanjang malam. Permasalahan cemburu, dekat dengan orang lain, atau kesalahpahaman lainnya. Kau dan aku makin hambar. Kau dan aku makin merasakan kehilangan cinta. Satu per satu perasaan luntur. Tapi kita selalu mencoba belajar saling mencintai lagi, lagi, dan lagi.

Entah karena apa, Tuhan menghadirkan kita dalam keadaan marah, emosi berlebihan hingga suatu hari kita memutuskan pergi sendiri-sendiri. Aku seolah ingin menangis, Ukhti. Namun terasa 'cengeng' untukku yang merupakan seorang pria. Aku tahu kau juga menangis. Aku mengerti dadamu merasakan sesak yang mendalam karena akupun merasakannya, mungkin lebih dari itu. Aku tahu engkau meneteskan air mata, meski berulangkali kau coba menghapusnya begitu aku melihat. 

Ukhti, maafkanlah emosiku. Maafkanlah semua kekhilafan kita. Maafkanlah masa lalu kita, meskipun tidak akan merubah apapun di masa lalu. Setidaknya dengan maaf bisa menjadikan kita lebih kuat dari sebelumnya. Ukhti, Mungkin aku salah. Aku pikir mengenalmu tidak akan pernah musnah. Aku pikir menaruh hati padamu tidak akan pernah berakhir. Nyatanya, kita sekarang berpisah. Mungkin ini kesalahan kita. karena yang terlalu mencintai, akan saling menjauh. Mungkin Allah cemburu dengan kita, sehingga inilah hukuman yang pantas kita terima. Berpisah. Ya, berpisah Ukhti.

Seandainya saja di sana kamu tahu, Ukhti. Aku tidak pernah sedetik pun membencimu. Sedikit pun tak pernah meletakkan benih dendam di hati. Aku sangat menghargaimu Ukhti. Aku tidak mau melupakanmu meski sekarang keberadaanmu menghilang. Di sisiku sudah tak ada kamu, kamu sudah pergi lama. Kamu seakan pergi sejak kau berhenti mencintai aku.

Yang perlu aku lakukan hanyalah membiarkan hidup ini terus berjalan. Selangkah demi langkah melepaskanmu tanpa harus dipaksa Ukhti. Dengan begini akan terasa mudah. Dengan begini aku bisa lebih ikhlas. Dengan begini cintaku pada Rabbku tak mungkin terbagi. Ukhti, Jangan khawatirkan keadaanku di sini ya. Rinduku sangat besar untukmu, dan kusimpan rapat-rapat.

Aku baik-baik saja, segenap hati kuluruskan niat untuk memperbaiki diri. Kalau kita berjodoh, aku mau dipertemukan kembali dalam keadaan sebaik-baiknya keadaan. Oleh karena itu, perbaiki dirimu juga ya. Jangan selipkan cintamu padaku, sebelum pernikahan itu berlangsung. Aku takut cinta kita adalah tiupan setan.




9 Alasan Ilmiah Mengapa Kamu Merasa Tertekan

9 Alasan Ilmiah Mengapa Kamu Merasa Tertekan
Picture by : WikiHow.com

Pakar kesehatan jiwa memaparkan gaya hidup kaum urban yang serba cepat memicu timbulnya gangguan kecemasan atau anxiety. Apabila tidak tertangani dengan baik, dapat mengakibatkan depresi atau gejala gangguan jiwa lainnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Danardi Sosrosumihardjo mengatakan banyak orang yang sebetulnya mengalami masalah kecemasan, sadar maupun tidak. "Gejala gangguan cemas banyak di alami oleh manusia zaman sekarang" katanya melalui siaran pers.

Selain gaya hidup serba cepat, hal lain yang memicu kecemasan adalah lingkungan yang dinamis serta masalah pemanasan global. Hal ini belum ditambah dengan kondisi spesifik yang berkaitan dengan orang tersebut.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan sekitar 16 juta orang atau 6% dari populasi penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti cemas, depresi dan psikosomatik.

Psikiater dari Klinik Psikosomatik Rumah Sakit OMNI Alam Sutera Tangerang Andri mengatakan jika kecemasan tidak ditangani dengan baik, maka dapat berakibat depresi atau gejala gangguan jiwa lainnya. "Dengan pengendalian kecemasan yang baik, tingkat produktivitas seseorang pun dapat terjaga untuk hidup yang lebih berkualitas."

Seperti kebanyakan kondisi kesehatan mental lainnya, penyebab dari gangguan kecemasan umum tidak sepenuhnya dipahami. Para dokter berpendapat kondisi ini mungkin melibatkan kimia otak alami (neurotransmitter) seperti serotonin, dopamin dan norepinefrin. Kondisi ini memiliki beberapa penyebab kemungkinan termasuk genetika, pengalaman hidup dan stres
 
Seperti kebanyakan kondisi kesehatan mental lainnya, penyebab dari gangguan kecemasan umum tidak sepenuhnya dipahami, Alih-alih frustrasi dan perubahan suasana hati kamu yang tampaknya tidak memiliki penyebab, pertimbangkan 9 alasan ilmiah ini yang mungkin membuat kamu merasa tertekan.

1. Gangguan Afektif Musiman. Kurangnya sinar matahari selama musim dingin mungkin tidak hanya menjadi pemicu emosional, tapi juga terbukti secara ilmiah menyebabkan depresi. Beberapa dari kita lebih sensitif terhadap sinar matahari ketimbang hal lain dan perlu untuk menjaga emosional yang seimbang. Mendapatkan sinar matahari yang cukup di pagi hari sangat penting karena dapat membantu menjaga ritme sirkadian yang selaras saat siang hari, yang kemudian dapat membantu menjaga jadwal tidur rutin kita. Jika kesulitan untuk mendapatkan sinar matahari di musim dingin saat jadwal tidur kamu, cobalah untuk menyalakan lampu tidur, yang merupakan lampu dengan cahaya dimaksudkan untuk meniru efek dari sinar matahari pada otak. Terkait dengan tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup, mungkin kamu kekurangan vitamin D. Pada musim dingin juga umumnya kekurangan vitamin D berhubungan dengan perasaan tertekan. Untungnya, kekurangan ini mudah diatasi dengan suplemen vitamin D. Jika kekurangan vitamin D adalah masalahmu, mungkin hanya suplemen yang membuat kamu membutuhkan ketenangan. Mengkonsumsi vitamin B terutama asam folat dan vitamin B6 juga berkaitan dengan peningkatan suasana hati.

2. Berbicara Negatif Terhadap Diri Sendiri. Berbicara negatif terhadap diri sendiri merupakan bagian terbesar dari masalah. Seringkali, kita tidak menyadari betapa negatifnya kita berbicara untuk diri kita sendiri. Kita membebaskan diri atas kesalahan terkecil, dan kadang-kadang bahkan untuk berbagai aktivitas netral, sepanjang hari. Jika pikiran kita dimanifestasikan sebagai seorang individu yang mengikuti lingkungan seitar dan mengucapkan kata-kata dengan suara keras sehingga kita katakan monolog dalam diri kita, mungkin kita akan merasa cukup muak dengannya. Namun, ketika dialog bersifat internal dan kita begitu terbiasa untuk mengkritik, maka kita membiarkan menyalahkan pendapat. Cobalah berbicara kepada diri sendiri layaknya kamu berbicara dengan teman terbaikmu, dan berikan dirimu kesempatan.

3. Genetik. Depresi mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Sementara itu 60% dari individu yang didiagnosa menderita depresi penyebabnya berhubungan dengan faktor lingkungan, 40% bisa bertanda kaitannya genetika melalui keluarga mereka. Orang dengan orang tua atau saudara kandung yang menderita depresi 3 kali lebih mungkin untuk menderita demikian. Para ilmuwan tidak yakin apakah itu benar-benar karena faktor keturunan atau hanya sebagian besar berhubungan dengan faktor lingkungan umum dan pengaruh. 

4. Kecemasan dan Stres. Stres dan kecemasan adalah faktor besar berkontribusi terhadap depresi. Ketika disibukkan dengan hal negatif, kekhawatiran, dan pikiran yang cemas, otak kita terbebani dan kita tidak mampu untuk menikmati diri kita sendiri. Di dunia dewasa ini, tekanan yang terus-menerus dan membuat respon mengalami stres kronis. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang "mengerjakan pekerjaan rumah mereka" dan tidak punya waktu memulihkan dan menyusun kembali dari pemicu stres sebelum yang berikutnya muncul dan membiarkannya habis. 

5. Gangguan Mood. Jika gejala depresi berlangsung selama beberapa minggu pada satu waktu dan tidak bisa diatasi meskipun sudah mengubah kebiasaan dan perilakunya, kamu mungkin memiliki gangguan kimia dalam otakmu. Ini sama sekali bukan kesalahanmu, dan kamu tidak harus berurusan dengan itu sendirian. Jika kamu berpikir mungkin punya gangguan depresi, cobalah mengikuti pengobatan terapi. Jika didiagnosa menderita, terapismu akan memberikan resep pengobatan yang bisa membuat perbedaan besar pada suasana hatimu. 

6. Fluktuasi/Naik-turunnya Hormon. Kadar hormon tertentu, seperti yang ada di kelenjar tiroid kamu dapat mempengaruhi suasana hatimu dan menyebabkan perasaan depresi. Pada wanita, fluktuasi hormon sebelum atau selama siklus menstruasi juga dapat menyebabkan perubahan suasana hati. Beberapa individu lebih sensitif terhadap perubahan hormon ini daripada yang lain, dan hormon yang mengatur ketersediaan obat-obatan bagi mereka akan sangat berpengaruh. 

7.Kurangnya Kontak Sosial atau Emosional. Anda mungkin merasa rendah karena kurangnya kontak sosial atau emosional. Kesepian adalah pemicu besar bagi perasaan depresi. Sebagian besar interaksi sehari-hari dengan rekan kerja atau lainnya sekedar dan bisnis-orientasi dan tidak memadai bagi kebutuhan kita akan interaksi manusia. Kadang-kadang bahkan kita menjalani dengan mengandalkan pada dukungan emosional menarik diri atau mengasingkan diri, membiarkan kita merasa kesepian. Membuat upaya khusus untuk mendapatkan takaran interaksi sosial yang mungkin kita perlukan. 

8. Lingkungan dan Peristiwa Kehidupan. Lingkungan dan peristiwa kehidupan adalah salah satu pemicu terbesar depresi, terutama pada mereka rentan terhadap itu. Apakah pekerjaanmu tidak berjalan dengan baik, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota keluarga, atau sedang mengalami putus cinta atau perceraian, kadang peristiwa berada di luar kendali kita. Depresi adalah respon alami untuk kejadian tersebut. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba yang terbaik untuk tetap positif dan mengingatkan diri kita sendiri bahwa perasaan dan peristiwa ini akan berlalu. 

9. Trauma. Anda mungkin akan menanggapi trauma apakah di masa lalu atau peristiwa kehidupan yang lalu yang lebih dari sekedar diatas normal dan perkembangan terbaru dari kehidupan sehari-hari dan menyebabkan trauma. Hal ini terutama berlaku untuk peristiwa traumatik masa kecil yang dapat menyebabkan otak berkembang kemudian terjebak dan mengakibatkan otak kurang fleksibel secara kognitif, yang dapat mempersulit kita untuk menangani pemicu stres dimasa sekarang. Trauma adalah sesuatu yang dapat dibebaskan dengan beberapa terapi, dan terapis dapat membantu individu menemukan akar masalah yang menyebabkan depresi kamu.